Kemajuan teknologi membuat perubahan besar pada berbagai sektor. Dewasa
ini istilah smart city muncul dan menjadi ide yang menyebar dengan cepat di
berbagai kota di belahan dunia. Sebut saja Singapura, New York, Barcelona, dan
lain-lain. Di Indonesia juga sudah banyak kota yang mengaplikasikannya,
misalnya Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan masih banyak lagi.
Ketika menyebut istilah smart city orang memberikan pengertian yang
berbeda-beda, salah satunya berbunyi: smart city adalah suatu konsep
pemanfaatan teknologi yang sesuai dengan kota masing-masing. Terlepas dari
konsep ataupun penerapannya di lapangan, saya melihat bahwa smart city yang ada
di Indonesia ini lebih banyak menekankan pada sisi teknologi dan kecanggihan
saja, padahal penerapan dari konsep ini mahal dan ada banyak masalah lain yang
seharusnya lebih patut untuk mendapatkan prioritas utama. IBM (sebuah
perusahaan komputer di Amerika Serikat) menuliskan ada enam indikator yang
berpengaruh, yaitu masyarakat penghuni kota, lingkungan, prasarana, ekonomi,
mobilitas, serta konsep smart living. Dari sini kita bisa melihat ada indikator
lingkungan di dalamnya. Akan tetapi, di dalam prakteknya smart city ini belum
menyentuh faktor lingkungan secara mendasar. Selain itu, ada kecenderungan bagi
kota-kota untuk memilih menyelesaikan/menerapkan aplikasi/program yang
sebenarnya bisa diserahkan kepada manusia dulu (belum perlu teknologi yang
terlalu canggih). Para bupati dan walikota juga seperti ingin menerapkan semua
kecanggihan teknologi tersebut untuk mengatasi berbagai masalah di kotanya,
secepatnya. Ingin semua langsung berteknologi canggih dan masalah bisa tuntas
dalam sekejap. Ini tidak mungkin, mengingat biayanya yang besar dan
kesiapan-kesiapan kota tadi. Konsep smart city harus dilaksanakan secara
bertahap dan program utama haruslah lingkungan. Lingkungannya dibenahi agar
baik, lestari, dan berkelanjutan. Mereka harus bisa memilih yang paling utama
untuk diselesaikan dengan konsep smart city ini.
Berbicara mengenai lingkungan, suatu kota harus bisa mengatasi
masalah sampah dengan baik, masalah pencemaran, banjir, kekeringan, dan masih
banyak lagi. Jangan lupakan pula isu krisis besar yang mengintai, yaitu krisis pangan,
air, dan energi. Ketiganya saling berhubungan dan lebih baik dijadikan fokus
utama, lebih dari fokus-fokus lainnya. Sehubungan dengan masalah energi,
bukankah penerapan smart city itu membutuhkan energi yang besar? Sementara jika
kita menggunakan energi dan bahan bakar fosil pencemaran akan meningkat. Terlebih
lagi karena energi dari bahan bakar fosil ini juga keberadaannya sudah menipis,
biasanya kota-kota yang sudah berpredikat smart city akan beralih ke energi
terbarukan.
Masalah lain kemudian muncul. Misalnya tentang air. Air ini dikenal
sebagai salah satu sumber energi alternatif. Tetapi lihat keadaan di berbagai
wilayah di Indonesia saat ini. Banyak sumber-sumber air yang mengering, air
tanah menipis, dan sumber-sumber sisanya mengalami pencemaran. Bagaimana bisa
air dijadikan sebagai sumber energi jika sumber-sumber airnya saja kering?
Selain itu, bisakah warga menjadi smart tanpa minum, tanpa mandi, dan
sebagainya?
Baca Juga:
Cirebon Berproses Menjadi Smart City
Tempe, Penawar Pahitnya Jamu
Lestarikan Alam Demi Lestarinya Jamu
Selamatkan Bumi Kita
Bagaimana pula dengan biofuel dan biodiesel sebagai sumber energi
alternatif? Tanaman-tanaman penghasil energi tadi kemudian pada akhirnya akan
bersaing dengan tanaman pangan di lahan yang terbatas.
Jangan lupakan pula adanya kebakaran hutan dan kabut asap yang
terjadi setiap tahun, termasuk akhir-akhir ini? Itu adalah PR bagi suatu smart
city. Bagaimana pemerintah bisa membuat suatu kebijakan yang baik; mencegah
berulangnya kejadian serupa; kalaupun ada peluang tetap terjadi maka terjadinya
akan sangat jarang, tidak parah, dan bisa diatasi dengan cepat, dan hal-hal
semacam itu. Peristiwa semacam kebakaran hutan ini bisa menghabiskan banyak
anggaran dari pemerintah. Jika perencanaan anggaran tidak tepat maka
pembangunan bisa terganggu. Penerapan smart city apalagi. Dari mana biaya untuk
menyelenggarakan kota cerdas itu nantinya jika anggarannya sudah terserap ke
sektor bencana?
Hutan ini bukan sekadar hutan, tetapi jika rusak akan mempengaruhi ketersediaan
air, meningkatkan pemanasan global, mengganggu kelestarian hewan, dan masih
banyak lagi lainnya.
Jadi, mari diluruskan agar smart city itu tidak sekadar tentang
CCTV, WiFi, sensor parkir, panic button, atau tentang aplikasi-aplikasi dan
software-software. Banyak hal yang bisa dilakukan dengan memperbaiki kinerja
dan mengoptimalkan apa yang ada serta meningkatkan peran serta masyarakat. Kita
harus bisa membedakan antara smart city sebagai ajang bisnis para pelaku IT/industri
IT dengan smart city yang sebenarnya. Kota cerdas yang sebenarnya jangan sampai
mengabaikan alam dan sisi humanisme manusia. Gunakan teknologi sewajarnya saja
lalu sentuhlah masalah yang lebih mendasar dulu, masalah kelestarian lingkungan
dan alam serta keberlanjutannya. Dengan demikian, smart city yang terbentuk
akan benar-benar smart. Kita tidak perlu utang, alat-alat teknologi canggih
atau pembangunan sesuatu itu juga nantinya tidak mubazir, masalah-masalah utama
tadi tidak akan menghancurkan hasil-hasil dari aplikasi smart city pada hal-hal
yang kurang perlu (bisa dikesampingkan dulu), dan sebagainya. Smart city yang
demikian adalah smart city yang sesungguhnya dan perlu didukung penerapannya di
Indonesia. Jadi, sektor teknologi dan sektor-sektor lain harus bisa berjalan
dengan seimbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar