Selasa, 27 Oktober 2015

Smart City, Teknologi, dan Kelestarian Lingkungan





Kemajuan teknologi membuat perubahan besar pada berbagai sektor. Dewasa ini istilah smart city muncul dan menjadi ide yang menyebar dengan cepat di berbagai kota di belahan dunia. Sebut saja Singapura, New York, Barcelona, dan lain-lain. Di Indonesia juga sudah banyak kota yang mengaplikasikannya, misalnya Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan masih banyak lagi. 


Ketika menyebut istilah smart city orang memberikan pengertian yang berbeda-beda, salah satunya berbunyi: smart city adalah suatu konsep pemanfaatan teknologi yang sesuai dengan kota masing-masing. Terlepas dari konsep ataupun penerapannya di lapangan, saya melihat bahwa smart city yang ada di Indonesia ini lebih banyak menekankan pada sisi teknologi dan kecanggihan saja, padahal penerapan dari konsep ini mahal dan ada banyak masalah lain yang seharusnya lebih patut untuk mendapatkan prioritas utama. IBM (sebuah perusahaan komputer di Amerika Serikat) menuliskan ada enam indikator yang berpengaruh, yaitu masyarakat penghuni kota, lingkungan, prasarana, ekonomi, mobilitas, serta konsep smart living. Dari sini kita bisa melihat ada indikator lingkungan di dalamnya. Akan tetapi, di dalam prakteknya smart city ini belum menyentuh faktor lingkungan secara mendasar. Selain itu, ada kecenderungan bagi kota-kota untuk memilih menyelesaikan/menerapkan aplikasi/program yang sebenarnya bisa diserahkan kepada manusia dulu (belum perlu teknologi yang terlalu canggih). Para bupati dan walikota juga seperti ingin menerapkan semua kecanggihan teknologi tersebut untuk mengatasi berbagai masalah di kotanya, secepatnya. Ingin semua langsung berteknologi canggih dan masalah bisa tuntas dalam sekejap. Ini tidak mungkin, mengingat biayanya yang besar dan kesiapan-kesiapan kota tadi. Konsep smart city harus dilaksanakan secara bertahap dan program utama haruslah lingkungan. Lingkungannya dibenahi agar baik, lestari, dan berkelanjutan. Mereka harus bisa memilih yang paling utama untuk diselesaikan dengan konsep smart city ini.


Berbicara mengenai lingkungan, suatu kota harus bisa mengatasi masalah sampah dengan baik, masalah pencemaran, banjir, kekeringan, dan masih banyak lagi. Jangan lupakan pula isu krisis besar yang mengintai, yaitu krisis pangan, air, dan energi. Ketiganya saling berhubungan dan lebih baik dijadikan fokus utama, lebih dari fokus-fokus lainnya. Sehubungan dengan masalah energi, bukankah penerapan smart city itu membutuhkan energi yang besar? Sementara jika kita menggunakan energi dan bahan bakar fosil pencemaran akan meningkat. Terlebih lagi karena energi dari bahan bakar fosil ini juga keberadaannya sudah menipis, biasanya kota-kota yang sudah berpredikat smart city akan beralih ke energi terbarukan. 


Masalah lain kemudian muncul. Misalnya tentang air. Air ini dikenal sebagai salah satu sumber energi alternatif. Tetapi lihat keadaan di berbagai wilayah di Indonesia saat ini. Banyak sumber-sumber air yang mengering, air tanah menipis, dan sumber-sumber sisanya mengalami pencemaran. Bagaimana bisa air dijadikan sebagai sumber energi jika sumber-sumber airnya saja kering? Selain itu, bisakah warga menjadi smart tanpa minum, tanpa mandi, dan sebagainya? 

Bagaimana pula dengan biofuel dan biodiesel sebagai sumber energi alternatif? Tanaman-tanaman penghasil energi tadi kemudian pada akhirnya akan bersaing dengan tanaman pangan di lahan yang terbatas. 


Jangan lupakan pula adanya kebakaran hutan dan kabut asap yang terjadi setiap tahun, termasuk akhir-akhir ini? Itu adalah PR bagi suatu smart city. Bagaimana pemerintah bisa membuat suatu kebijakan yang baik; mencegah berulangnya kejadian serupa; kalaupun ada peluang tetap terjadi maka terjadinya akan sangat jarang, tidak parah, dan bisa diatasi dengan cepat, dan hal-hal semacam itu. Peristiwa semacam kebakaran hutan ini bisa menghabiskan banyak anggaran dari pemerintah. Jika perencanaan anggaran tidak tepat maka pembangunan bisa terganggu. Penerapan smart city apalagi. Dari mana biaya untuk menyelenggarakan kota cerdas itu nantinya jika anggarannya sudah terserap ke sektor bencana?


Hutan ini bukan sekadar hutan, tetapi jika rusak akan mempengaruhi ketersediaan air, meningkatkan pemanasan global, mengganggu kelestarian hewan, dan masih banyak lagi lainnya. 


Jadi, mari diluruskan agar smart city itu tidak sekadar tentang CCTV, WiFi, sensor parkir, panic button, atau tentang aplikasi-aplikasi dan software-software. Banyak hal yang bisa dilakukan dengan memperbaiki kinerja dan mengoptimalkan apa yang ada serta meningkatkan peran serta masyarakat. Kita harus bisa membedakan antara smart city sebagai ajang bisnis para pelaku IT/industri IT dengan smart city yang sebenarnya. Kota cerdas yang sebenarnya jangan sampai mengabaikan alam dan sisi humanisme manusia. Gunakan teknologi sewajarnya saja lalu sentuhlah masalah yang lebih mendasar dulu, masalah kelestarian lingkungan dan alam serta keberlanjutannya. Dengan demikian, smart city yang terbentuk akan benar-benar smart. Kita tidak perlu utang, alat-alat teknologi canggih atau pembangunan sesuatu itu juga nantinya tidak mubazir, masalah-masalah utama tadi tidak akan menghancurkan hasil-hasil dari aplikasi smart city pada hal-hal yang kurang perlu (bisa dikesampingkan dulu), dan sebagainya. Smart city yang demikian adalah smart city yang sesungguhnya dan perlu didukung penerapannya di Indonesia. Jadi, sektor teknologi dan sektor-sektor lain harus bisa berjalan dengan seimbang.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar