Siang itu aku baru saja pulang
mengajar. Seperti biasa, kukayuh sepeda melewati persawahan di dekat sana. Jalur
itu sengaja kupilih karena merupakan jalan pintas.
“Dini...!” seorang pengendara motor
memanggilku.
Dia berhenti sejenak, menungguku
agar mencapai jarak yang sangat dekat. Dalam jarak sekitar 60 cm aku bisa mengenalinya
sebagai Siti. Kami ngobrol sejenak di tepi jalan, sambil berdiri. Dari situ aku
tahu bahwa dia tak lagi berjualan di pasar karena sakit ginjal. Penyakit itu
membuatnya harus cuci darah selama beberapa waktu (opname), namun kondisinya
sudah membaik saat kami bertemu. Memang ada yang berubah di wajahnya, wajahnya
menghitam sebagaimana yang biasa ditemui pada orang yang sakit ginjal. Berbeda
denganku, siang itu dia berangkat mengajar. Kami sama-sama mengajar di sekolah
swasta, namun di sekolah yang berbeda. Dia mengajar untuk jenjang SMA sedang
aku mengajar SD dan SMP. Sejak SMA aku mengenali teman dekatku itu sebagai
wanita pekerja keras dan gigih. Dia duduk di depan bangkuku sehingga kami cukup
akrab. Beberapa tahun berlalu dia masih tetap sama, baru saja pulih dari cuci
darah dia langsung masuk kerja.
Bertemu dengan Siti mengingatkanku
akan praktikum biologi SMP. Bapaknya pengusaha tempe sehingga aku bermaksud
menanyakan tempat membeli ragi tempe padanya. Tak kusangka dia menawarkan
padaku untuk membeli saja padanya. Esoknya, kakak mengabariku bahwa Siti telah
datang ke rumah. Dia tak sempat bertemu denganku karena
saat itu aku masih mengajar. Beruntung kakak telah membayar tunai harga
raginya.
Beberapa waktu pun berlalu, di
suatu Ramadan muncul kabar bahwa angkatan kami semasa SMA mengadakan buka
bersama sekaligus reuni. Saat itu aku sedang di rumah,
tepatnya di kamarku. Tiba-tiba aku teringat akan Siti. Kuraih HP dan segera mengirim
pesan padanya. Biasanya SMS-ku selalu gagal, meski dia mengatakan nomernya
masih aktif. Aneh, hari itu pesanku masuk. Pesan itu dibalas dengan dering
HP-ku disusul dengan terdengarnya suara pria di seberang sana. Aku ragu untuk
berbicara dan sempat berpikir salah sambung.
“Halo, halo, Mbak, Siti sudah tidak
ada umurnya, sudah bulan (maaf lupa, seingat saya Februari) lalu. Saya jawab
nanti takutnya Siti dikira sombong,” pria itu berusaha menjelaskan. Dia
memperkenalkan dirinya sebagai kakak Siti. Bisa dibayangkan betapa terkejutnya
aku. Jantungku langsung berdesir, rambut-rambut kecil di tubuhku juga langsung
berdiri. Merinding rasanya. Selepas SMA aku pernah ke rumahnya beberapa kali,
tapi sudah lama kami tak bertemu lagi. Pertemuan di jalan itu seolah-olah untuk
berpamitan denganku. Tiba-tiba aku teringat akan betapa dekat jarak antara
hidup dan mati. Maut bisa menjemput kita kapan saja, bahkan walau sesaat lalu
kita berjumpa dengan orang tersebut. Sebungkus ragi itu adalah tanda perpisahan
darinya untuk selama-lamanya. Siti, semoga arwahmu tenang di alam sana, di
dalam naungan rahmat Allah dan ampunan dari-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar