Rumahku
di dekat bandara. Mungkin ada yang tanya, “Enak nggak tinggal di dekat
bandara?” Mmm ... tergantung. Yang pasti ada enak dan nggaknya. Pesawat itu
lewat tiap 5-10 menit sekali. Bayangkan, 10 menit sekali dalam sehari! Eh ini
beneran lho, tiap 10 menit sekali lewatnya, bukan hiperbola (membesar-besarkan
fakta). Kebayang nggak gimana rasanya kena polusi suara sekerap itu? Bawaannya
jadi pengen makan orang. Hehehe ... , nggak, bercanda. Kalau yang ini
baru hiperbola. Stres berat lah aku, bad mood, dan pengen uring-uringan. Pengen
ngungsi aja rasanya. Apalagi, kamarku ada di lantai 2, jadi suaranya kedengaran
lebih keras dibandingkan jika aku ada di lantai bawah.
Nah,
berhubung aku tinggal di perbatasan antara Sidoarjo dan Surabaya, aku nggak
bisa melepaskan diri dari pengaruh keduanya. Meskipun Sidoarjo belum termasuk Smart city sedang Surabaya sudah Smart city, tetapi apa yang
kusampaikan ini bisa memberikan sedikit gambaran tentang kota yang smart.
Tentunya untuk mewujudkan Smart City
Indonesia.
Konsep
kota yang smart minimal mencakup 4K,
yaitu keamanan, kemakmuran, kenyamanan, dan kesehatan. Teknologi menjadi salah satu faktor pendukung dari tercapainya tujuan tersebut.
Berbicara
mengenai kota cerdas, cerdas yang bagaimana? Cerdas untuk siapa? Untuk semua
kalangan kah? Atau sebagian kalangan saja? Seperti masalah pesawat yang sangat
menggangguku ini. Terlepas dari kotaku termasuk kota cerdas atau bukan,
bukankah semua kota didorong untuk menjadi cerdas nantinya? Masalah polusi
suara ini sangat mengganggu. Selain bisa menyebabkan stres juga bisa
menyebabkan menurunnya produktivitas kerja dan kebahagiaan. Akan lebih baik
jika pesawat (semua alat transportasi udara) itu diberi alat peredam suara,
diatur jalur/rute terbangnya agar tidak lewat ke situ-situ saja (yang kudengar
itu seperti terlalu sering lewat di dekat rumahku), atau solusi lainnya. Jangan
sampai kota-kota yang memiliki bandara seperti tempat tinggalku hanya
memperhatikan/memberikan kenyamanan bagi pengguna pesawat saja. Sementara masyarakat
yang ada di dekatnya/yang dilalui di bawahnya merasa tidak nyaman.
Senada
dengan itu, kelangkaan alat transportasi umum di beberapa tempat di Surabaya
dan Sidoarjo juga sangat menyulitkan bagi rakyat jelata sepertiku, yaitu orang yang kemana-mana tergantung pada sepeda pancal
atau kendaraan umum. Sudah transportasi umum langka jika pun ketemu biasanya
dicekik pula dengan tarifnya, atau kalau tidak ya masih membutuhkan jalan kaki
untuk mencapai tempat yang dituju.
Kau
tahu, pejalan kaki sepertiku ini susah sekali mendapat tempat. Trotoar tempat
kami kalau tidak ditempati oleh pedagang kaki lima, dijadikan tempat parkir
sepeda motor, atau dilewati oleh pengendara motor yang tidak sabar ingin segera
sampai ke tujuannya. Jika kami ingin menyeberang jalan, kami harus menunggu
sangat ... lama, sulit sekali. Lampu tet-tot (sebutanku untuk lampu lalu lintas
khusus pejalan kaki) hanya ada di tempat-tempat tertentu. Mau menyeberang lewat
bawah (tanpa lampu tet-tot) eh para pengendara mobil dan motornya nggak ada
yang mau mengalah. Mereka malah menyorotkan lampu-lampu tajamnya lalu ngebut.
Sedang jika aku lewat jembatan penyeberangan – aduh tinggi dan jauhnya, aku yang masih
muda aja kecapekan, gimana dengan pejalan kaki yang sudah lebih tua? Sampai di
sini aku punya solusi untuk trotoar yang sering disalahgunakan oleh para
pengendara sepeda motor. Solusinya adalah meninggikan/memagari perbatasan
antara trotoar dengan badan jalan. Selain itu, pada pagar tersebut diberi suatu
alat yang bisa mencatat nomer kendaraan secara otomatis, sehingga
kendaraan-kendaraan yang melanggar bisa diketahui lalu pengendaranya dihukum.
Kondisi
di atas tentu sangat tidak smart dan harus diatasi. Masyarakat seperti kami ini
butuh 4K tadi, dan bukan hanya tentang kemewahan. Aku memikirkan sesuatu
sebagai alternatif dari jalan layang tadi. Bentuknya bisa semacam lift,
eskalator, kereta gantung, atau gabungan dari beberapa di antaranya. Misalnya,
aku naik lift sampai pada ketinggian tertentu, lalu lift berhenti. Selanjutnya
perjalanan ke seberang dilanjutkan dengan menggunakan eskalator mendatar (cara
kerjanya mirip dengan alat yang memutar tas/koper di bandara), lalu setelah di
seberang naik lift lagi yang arahnya menurun. Di sini, eskalator mendatar bisa
digantikan juga dengan semacam kereta gantung yang ada di taman hiburan atau
wahana-wahana pemacu adrenalin (biasanya menghubungkan satu tebing dengan
tebing lainnya). Menurutku, ini sangat bagus dan ramah bagi semua pejalan kaki,
termasuk manula dan difabel.
Ilustrasi penyalahgunaan jembatan penyeberangan
Sumber: http://poskotanews.com/
Aku
tak selalu bepergian dengan jalan kaki, untuk jarak tempuh yang dekat aku
biasanya naik sepeda pancal. Sebenarnya sejalan dengan konsep go green
ya, tapi sayang secara penerapan masih kurang didukung. Selain udaranya yang
masih tinggi polusi, para pesepeda juga termasuk makhluk yang minor dan
tersisih. Penyebabnya kurang lebih sama dengan pada kasus pejalan kaki tadi,
yaitu karena pengendara mobil dan motor (atau kendaraan lain) yang kurang
toleran. Jika aku melewati suatu jalan dan di tepinya ada bagian yang
berbatu/tidak beraspal/rusak, maka pengendara lain akan memepetku ke sana.
Sudah minggir pun masih diklakson-klakson juga, kurang mepet mungkin bagi
mereka. Bahkan, kalau hujan dan aku sudah memilih tempat yang sangat pinggir
dan becek/banjir lumayan tinggi eh masih di-‘ceprot’ juga oleh mereka. Sudah
tahu banjir dan aku sudah sangat minggir eh dengan santainya para pengendara
mobil dan motor itu ngebut dan mencipratkan genangan air kotor itu dengan keras
ke arah tubuhku. Mungkin tidak terlalu apa-apa jika kondisinya pulang kerja,
tetapi aku pernah mengalaminya di saat berangkat kerja. Baju jadi kotor dan
basah dan otomatis aku jadi menggigil kedinginan menunggu waktu pulang. Apalagi
bajunya seragam, tidak ada gantinya untuk baju kerja esok hari. Ini
menggambarkan masyarakat yang belum cerdas (smart) ya, sangat tidak toleran. Sebagai
solusi akan hal ini tentu saja yang pertama adalah mengatasi banjirnya lalu
membuat lajur khusus untuk bersepeda. Lajur untuk bersepeda ini idealnya tidak
bersinggungan dengan lajur motor dan mobil (tidak harus menyeberang memotong
lajur mereka), mungkin nggak ya? Kalau memang digalakkan bersepeda untuk go
green, kondisinya harus kondusif dong. Barangkali Bandung bisa menjadi contoh
dalam hal ini. Ada lajur sepeda dan sewa sepeda di tempat-tempat yang sulit
transportasinya. Sip banget kayaknya karena dengan bersepeda itu kendali ada di
tangan sendiri, bisa menyesuaikan kecepatan, tidak perlu berdesak-desakan di
kendaraan umum, tidak perlu menunggu lama datangnya kendaraan umum, dan
lain-lain. Sepertinya, juga bakal lebih irit di ongkos.
Sewa sepeda di Bandung
Sumber: http://ngodin.com/
Yah,
seperti itulah gambaran dan sekaligus harapanku akan kota yang smart
transportasinya. Harus bisa mengatasi masalah-masalah di atas. Sekiranya solusiku
bisa diterapkan itu akan baik, dengan tetap membuka peluang akan adanya solusi
yang lebih baik. Intinya, masalahnya teratasi, itu saja. Itulah smart city yang
sebenar-benarnya. Bukan hanya smart bagi pengguna pesawat, mobil, motor, atau
kalangan khusus lainnya tetapi untuk semua kalangan. Kota yang smart untuk
semuanya.