Desa Nagrak, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, kejatuhan berkah. Jumat (7/2/2020), di wilayah perkebunan, di kaki Gunung Tampomas, Sumedang, ditemukan ribuan batu persegi panjang, kotak, dan persegi lima misterius yang tersusun rapi dan berukuran raksasa. Ada yang mengaitkan batu-batu besar itu dengan legenda Sangkuriang Kabeurangan (Sangkuriang kesiangan), ada pula yang menghubung-hubungkannya dengan jejak Prabu Siliwangi.
Lokasi tempat penemuan batu dekat sumber air (ANTV/Lutfi) |
Kemunculan batu-batu misterius itu memunculkan berbagai konsep wisata, mulai dari wisata alam, karena terdapatnya aliran sumber air jernih pada kawasan wisata di bawah batuan; hingga wisata budaya karena diduga berhubungan dengan arkeologi. Namun, sayang, arkeolog telah menegaskan, bebatuan tersebut terbentuk secara alami, sehingga penemuannya berada di luar ranah budaya.
Dilansir
dari detikcom, Selasa (18/2/2020), Lutfi Yondri, Arkeolog Balai Arkeologi Jawa
Barat menjelaskan, "Semua hamparan batu terjadi secara alamiah, sebagai
hasil proses geologi yang mengalami transformasi setelah lama membeku.
Perubahan-perubahan proses yang terjadi di alam seperti gempa dan longsor kemudian
mengubah batu dari kompak menjadi berserakan, lalu membentuk menjadi panjang
dan kotak seperti itu."
Lutfi
memandang, bukan wisata budaya yang cocok diterapkan di kawasan batu Nagrak,
melainkan wisata geologi. Wisata geologi cocok jika tujuannya untuk edukasi,
namun pangsa pasarnya mungkin akan sepi jika tujuannya lebih untuk
komersialisasi. Untuk menyiasati hal tersebut, pemerintah dapat
mempertimbangkan konsep wisata lain seperti di bawah ini.
Sebelumnya,
izinkan saya menceritakan sedikit tentang Michaelangelo dan patung David
buatannya, berdasarkan buku Warrior the Art of Winning the Battle of Success.
Michaelangelo pernah bilang, setiap batu telah memiliki bentuknya, dan ia
(Michaelangelo) tinggal membebaskannya (membuat bentuknya jelas) dalam
karyanya. Saat Agustino, Antonio Rossellino, dan Leonardo da Vinci angkat
tangan dan menganggap batu marmer yang diajukan itu tak mungkin dipahat dan tak
tahu akan dijadikan apa, Michaelangelo justru melihat terdapat malaikat yang
sedang beristirahat di dalam bongkahan batu marmer itu yang menunggu untuk
dibebaskan. Menurut legenda, ada seorang anak lelaki bertanya kepada
Michaelangelo, seorang seniman besar Renaissance, “Mengapa ia bekerja begitu
keras memahat sebongkah batu besar?” Michaelangelo menjawab, “Anak muda, ada
malaikat dalam batu ini dan aku sedang membebaskannya.” Hasil pahatan batu
marmer besar itu kemudian dikenal dengan nama patung David-ill Gigante yang
berada pada Galleria dell’ Academia, salah satu karya terbesar Michaelangelo.
Nah,
mari kita berpikir seperti Michaelangelo dalam melihat potensi batu-batu Nagrak
untuk ke depannya.
Terdapat
banyak wisata batu di dunia, misalnya patung Moai di Pulau Paskah di Chili dan
Lembah Bada di Sulawesi Tengah, The Lost World di Yogyakarta dan Stonehenge di
Inggris, Hadrian’s Wall di Inggris, Tembok Raksasa (Great Wall) di Cina, Big
Garden Corner di Bali, Standing Stone Resto di Bali, Wot Batu di Bandung, Bukit
Batu Songgong di Nganjuk, Mor Hin Khao di Thailand, dan Taman Heligan di
Inggris. Perhatikan bahwa tidak semuanya harus berupa bentukan rumit seperti
Borobudur. Masyarakat hanya menginginkan bentukan atau tampilan yang unik, yang
sekiranya bagus untuk spot foto atau syuting dan video.
Pernahkah
Anda mendengar tentang Kampung Warna-Warni? Kampung tersebut sederhana
konsepnya, hanya tentang permainan warna, bagaimana genteng-genteng dan
dinding-dinding rumah orang-orang sekampung disemarakkan dengan cat biru,
hijau, kuning, dan merah. Setidaknya ada 10 kampung warna-warni yang hits di
Indonesia, yaitu Kampung Jodipan Malang, Kampung Bulak Surabaya, Desa Kelir
Gresik, Bejalen Kabupaten Semarang, Kalisari Semarang, Pasar 16 Ilir Palembang,
Teluk Bitung Bandar Lampung, Teluk Seribu Balikpapan, Kampung Kali Code
Yogyakarta, dan Kalilo Banyuwangi.
Di
luar negeri Kampung Warna-Warni juga ada, dan mungkin Indonesia memang
mengadaptasi konsep dari sana, misalnya di Innsbruck Austria, pemandangan warna-warni
dapat dilihat di Mariahilf-St. Nikolaus, Maria-Theresien Strasse, dan Old Town.
Wot Batu, Bandung (Infobdg.com) |
Masih
dengan permainan warna, bila Anda pernah ke Surabaya atau Kota Lama Jawa
Tengah, Anda akan menjumpai bola-bola batu raksasa berwarna-warni menambah
ceria suasana trotoar-trotoar jalan di sana.
Batu
Sanghiang, sebutan dari batu-batu aneh di Desa Nagrak, juga dapat dipercantik
dengan cara demikian. Potensi kawasan ini jangan disia-siakan. Pada awal
penemuannya saja kawasan tersebut langsung menggegerkan warga dan viral. Tak
hanya masyarakat Sumedang, orang dari Cikampek pun sampai datang demi
menuntaskan rasa penasaran.
Standing Stone Resto, Bali (MyFunFooDiary) |
Untuk
semakin memantaskan kawasan penemuan Batu Sanghiang menjadi objek wisata,
terdapat beberapa konsep yang bisa dipertimbangkan:
1. Batu-batu
Sanghiang seluruhnya dibiarkan tetap alami dan lebih difungsikan untuk edukasi,
terutama bidang Geologi. Namun, karena secara alami warna batu-batu Sanghiang
tersebut kurang menarik, apalagi bidang Geologi itu terlalu spesifik dan
peminatnya terbatas, maka kita perlu mengoptimalkan daerah sekitarnya menjadi
sangat menarik. Kita membutuhkan objek wisata yang lebih universal sehingga
dapat menarik lebih banyak wisatawan.
2. Batu-batu
Sanghiang tersebut dibiarkan tetap alami, hanya saja ditata lokasinya agar
lebih artistik,
3. Batu-batu
Sanghiang tersebut dibentuk atau dipahat menjadi bentukan-bentukan atau
patung-patung yang indah,
4. Diubah
sebagian
Sebagian
batu Sanghiang dibiarkan dalam bentuk, warna, dan posisi alaminya sebagai
sarana edukasi Geologi; sebagian lagi dibuat lebih cantik dan modern: bisa
dengan dipahat, diubah posisi tegak atau horizontalnya, ditata lokasi
batu-batunya, dicat warna-warni dan diberi motif khusus, atau diberi
ornamen-ornamen tambahan lain yang menarik.
5. Seluruh
batu Sanghiang diubah menjadi lebih modern dan menarik, baik melalui permainan
warna, motif, penambahan ornamen, perubahan bentuk, perubahan posisi, dilapisi
sesuatu, atau lainnya.
Batu-batu
Nagrak bentuknya kebanyakan kotak dengan panjang 2,5 meter sampai 3,5 meter, dan
tebal 60 cm, dengan panjang rata-rata 2,7 meter, jadi mungkin bisa difungsikan
sebagai kursi atau meja tempat bersantai atau makan-makan. Batu-batu tersebut
bisa juga dibuat bentuk tegakan sebagai pilar-pilar yang berhias, atau jika mau
diseragamkan, karena batu-batu Nagrak berasal dari aliran lava yang membeku
akibat letusan gunung jutaan tahun lalu, bila memungkinkan cobalah untuk
membentuk batu-batu tadi menjadi seperti ular. Batu-batuan yang menghampar
sepanjang seratus meter lebih bagaikan
ular itu sekalian saja dibentuk laksana ular raksasa, lalu tambahkan hiasan
kepala padanya.
Kemudian,
sehubungan dengan lokasi batu-batu Sanghiang yang berada di antara lahan areal perkebunan
blok Pasirlandak dan tanah kas desa, serta adanya sungai kecil beraliran deras di
bawah batuan, maka konsep wisata alam sangat kuat di sini. Kita bisa membuatnya
menjadi area perkemahan, tempat berenang dan pemancingan, pesta kebun/bakar
ikan, kolam, wisata perkebunan dan pertanian, homestay/rumah pohon, pasar
suvenir dan oleh-oleh, serta menambahkan taman-taman, lampu-lampu, tempat
kuliner, dan spot-spot foto yang cocok untuk selfi, wefie, prewedding, maupun
syuting film dan semacamnya. Puas-puaskan saja untuk bersantai sambil menikmati
suasana desa dan sajian hasil perkebunan Desa Nagrak seperti ubi kayu, petai,
pisang, alpukat, mangga, atau hasil olahannya untuk menghilangkan penat jiwa.
Oh
ya, jangan lupa pula untuk memanfaatkan persepsi sebagai daya jual. Karena
bebatuan Sanghiang dipercaya masyarakat berhubungan dengan kisah kerajaan
Siliwangi dan Sangkuriang, manfaatkan saja kisah tersebut untuk menambah daya
tarik objek wisata di sana. Tambahkan ciri khas dari kerajaan Siliwangi dan
Sangkuriang, namun tempatkan keduanya secara terpisah. Bentuknya bisa berupa
patung, diorama, dan segala yang dapat menghidupkan kisah kerajaan Siliwangi
dan Sangkuriang di sana (misalnya tari-tarian, operet, menonton film Siliwangi
dan Sangkuriang bersama, dan sebagainya). Lengkapi pula dengan fasilitas
standar tempat wisata, seperti tempat parkir, toilet, dan masjid/musala.
Per
8 Oktober 2019, data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kab.
Sumedang menunjukkan, sudah 78 dari 171 desa di Sumedang yang mengusulkan diri
menjadi desa wisata. Itu artinya ke tujuh puluh delapan desa tadi harus
memenuhi syarat 3A, yaitu:
1. Atraksi
sebagai daya tarik utama sebuah destinasi wisata,
2. Amenitas
sebagai fasilitas pendukung sebuah destinasi wisata, dan
3. Aksesibilitas
yang dapat diartikan sebagai beragam hal yang berkaitan dengan akses wisatawan
ketika hendak berkunjung ke sebuah destinasi wisata.
Desa
Nagrak sebenarnya berpotensi menjadi salah satu desa wisata juga, sesuai
harapan warga di sana, namun masih memerlukan beberapa perbaikan. Pasalnya,
meski dari pemukiman penduduk hanya berjarak 700 meter hingga 1 kilometer, namun akses jalan cukup ekstrim. Hanya
pengendara roda dua ahli yang bisa melaluinya, terutama saat jalanan licin
karena hujan. Sementara untuk kendaraan roda empat, hanya bisa masuk sampai batas
luar pemukiman menuju persawahan blok bera. Oleh karena itu, selain akses jalan
tersebut harus dipermudah, beberapa akses jalan baru juga harus dibuka. Proses
perbaikan ini tak hanya akan memakan waktu lama, tetapi juga membutuhkan banyak
dukungan dana dari pemerintah pusat dan daerah.
Desa
Nagrak memang telah memiliki potensi ekonomi kreatif berupa Kampung Kolor yang
mereka harapkan dapat mendongkrak perekonomiannya. Kampung Kolor diresmikan
pada Nopember 2019 lalu sebagai realisasi dari program One Village One
Product. Meski demikian, keberadaan Kampung Kolor tak menyurutkan minat
warga untuk menganggap batu Sanghiang sebagai calon aset dan potensi desa
pendorong perekonomian mereka juga. Bahkan, sebagai bentuk dukungannya, warga
Desa Nagrak telah berkomitmen untuk menjaga batu-batu tersebut.
Kawasan
penemuan batu Sanghiang dimungkinkan untuk menjadi tempat wisata, meski mungkin
tidak dalam waktu dekat. Sembari membenahi dan mempersiapkan
perbaikan-perbaikannya, alangkah baiknya jika warga dan perangkat desa Nagrak,
serta pemerintah pusat dan daerah mulai menggencarkan promosi-promosinya.
Promosi online misalnya, pencarian menggunakan kata kunci (keyword) “Desa
Nagrak” hasilnya masih sangat minim. Tak banyak gambaran yang akan kita tahu
mengenai Desa Nagrak jika kita mencari informasi yang terkait dengannya melalui
online, baik tentang informasi mengenai desa itu sendiri, maupun
kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya. Kebutuhan ini akan semakin meningkat
jika batu-batu Sanghiang benar-benar telah menjadi objek wisata di sana.
Pastikan agar akses internet ada dan lancar di sana, pastikan pula agar warga
Nagrak telah melek teknologi dan mau memposting/mempromosikannya pada
medsos-medsos mereka. Bila perlu, pemerintah juga dapat menggerakkan para
blogger untuk turut ambil bagian dalam memasarkannya. Kerja sama yang indah,
bukan? Mengapa, tidak? Bukankah Nagrak dan Sumedang juga bagian dari Indonesia.
Sumber:
http://bisnisbandung.com/2020/02/12/berharap-jadi-potensi-wisata-baru-di-sumedang/
https://www.antvklik.com/headline/geger-temuan-tumpukan-batu-besar-di-sumedang-jejak-prabu-siliwangi
http://sumedangtandang.com/direktori/detail/desa-nagrak.htm
https://travel.detik.com/domestic-destination/d-4901336/sumedang-punya-batu-misterius-nan-angker/komentar
http://ensiklo.com/2019/08/18/3a-pariwisata/
https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01320727/puluhan-desa-di-sumedang-mengajukan-diri-jadi-desa-wisata
http://www.koran-jakarta.com/kampung-kaus-kaki-wujudkan-usaha-di-desa/