Rabu, 08 Februari 2017

Smart City dan Harapanku akan Pengelolaan Transportasi yang Lebih Baik di Surabaya dan Sidoarjo


Pesawat yang lewat di dekat rumahku


Rumahku di dekat bandara. Mungkin ada yang tanya, “Enak nggak tinggal di dekat bandara?” Mmm ... tergantung. Yang pasti ada enak dan nggaknya. Pesawat itu lewat tiap 5-10 menit sekali. Bayangkan, 10 menit sekali dalam sehari! Eh ini beneran lho, tiap 10 menit sekali lewatnya, bukan hiperbola (membesar-besarkan fakta). Kebayang nggak gimana rasanya kena polusi suara sekerap itu? Bawaannya jadi pengen makan orang. Hehehe ... , nggak, bercanda. Kalau yang ini baru hiperbola. Stres berat lah aku, bad mood, dan pengen uring-uringan. Pengen ngungsi aja rasanya. Apalagi, kamarku ada di lantai 2, jadi suaranya kedengaran lebih keras dibandingkan jika aku ada di lantai bawah. 


Nah, berhubung aku tinggal di perbatasan antara Sidoarjo dan Surabaya, aku nggak bisa melepaskan diri dari pengaruh keduanya. Meskipun Sidoarjo belum termasuk Smart city sedang Surabaya sudah Smart city, tetapi apa yang kusampaikan ini bisa memberikan sedikit gambaran tentang kota yang smart. Tentunya untuk mewujudkan Smart City Indonesia.

Pesawat yang lewat di dekat rumahku


Konsep kota yang smart minimal mencakup 4K, yaitu keamanan, kemakmuran, kenyamanan, dan kesehatan. Teknologi menjadi salah satu faktor pendukung dari tercapainya tujuan tersebut.


Berbicara mengenai kota cerdas, cerdas yang bagaimana? Cerdas untuk siapa? Untuk semua kalangan kah? Atau sebagian kalangan saja? Seperti masalah pesawat yang sangat menggangguku ini. Terlepas dari kotaku termasuk kota cerdas atau bukan, bukankah semua kota didorong untuk menjadi cerdas nantinya? Masalah polusi suara ini sangat mengganggu. Selain bisa menyebabkan stres juga bisa menyebabkan menurunnya produktivitas kerja dan kebahagiaan. Akan lebih baik jika pesawat (semua alat transportasi udara) itu diberi alat peredam suara, diatur jalur/rute terbangnya agar tidak lewat ke situ-situ saja (yang kudengar itu seperti terlalu sering lewat di dekat rumahku), atau solusi lainnya. Jangan sampai kota-kota yang memiliki bandara seperti tempat tinggalku hanya memperhatikan/memberikan kenyamanan bagi pengguna pesawat saja. Sementara masyarakat yang ada di dekatnya/yang dilalui di bawahnya merasa tidak nyaman.

Smart city
Sumber: http://smartcity.wg.ugm.ac.id/


Senada dengan itu, kelangkaan alat transportasi umum di beberapa tempat di Surabaya dan Sidoarjo juga sangat menyulitkan bagi rakyat jelata sepertiku, yaitu orang yang kemana-mana tergantung pada sepeda pancal atau kendaraan umum. Sudah transportasi umum langka jika pun ketemu biasanya dicekik pula dengan tarifnya, atau kalau tidak ya masih membutuhkan jalan kaki untuk mencapai tempat yang dituju. 


Kau tahu, pejalan kaki sepertiku ini susah sekali mendapat tempat. Trotoar tempat kami kalau tidak ditempati oleh pedagang kaki lima, dijadikan tempat parkir sepeda motor, atau dilewati oleh pengendara motor yang tidak sabar ingin segera sampai ke tujuannya. Jika kami ingin menyeberang jalan, kami harus menunggu sangat ... lama, sulit sekali. Lampu tet-tot (sebutanku untuk lampu lalu lintas khusus pejalan kaki) hanya ada di tempat-tempat tertentu. Mau menyeberang lewat bawah (tanpa lampu tet-tot) eh para pengendara mobil dan motornya nggak ada yang mau mengalah. Mereka malah menyorotkan lampu-lampu tajamnya lalu ngebut. Sedang jika aku lewat jembatan penyeberangan – aduh tinggi dan jauhnya, aku yang masih muda aja kecapekan, gimana dengan pejalan kaki yang sudah lebih tua? Sampai di sini aku punya solusi untuk trotoar yang sering disalahgunakan oleh para pengendara sepeda motor. Solusinya adalah meninggikan/memagari perbatasan antara trotoar dengan badan jalan. Selain itu, pada pagar tersebut diberi suatu alat yang bisa mencatat nomer kendaraan secara otomatis, sehingga kendaraan-kendaraan yang melanggar bisa diketahui lalu pengendaranya dihukum. 

Ilustrasi trotoar yang digunakan oleh pengendara motor
Sumber: http://www.wovgo.com/


Kondisi di atas tentu sangat tidak smart dan harus diatasi. Masyarakat seperti kami ini butuh 4K tadi, dan bukan hanya tentang kemewahan. Aku memikirkan sesuatu sebagai alternatif dari jalan layang tadi. Bentuknya bisa semacam lift, eskalator, kereta gantung, atau gabungan dari beberapa di antaranya. Misalnya, aku naik lift sampai pada ketinggian tertentu, lalu lift berhenti. Selanjutnya perjalanan ke seberang dilanjutkan dengan menggunakan eskalator mendatar (cara kerjanya mirip dengan alat yang memutar tas/koper di bandara), lalu setelah di seberang naik lift lagi yang arahnya menurun. Di sini, eskalator mendatar bisa digantikan juga dengan semacam kereta gantung yang ada di taman hiburan atau wahana-wahana pemacu adrenalin (biasanya menghubungkan satu tebing dengan tebing lainnya). Menurutku, ini sangat bagus dan ramah bagi semua pejalan kaki, termasuk manula dan difabel.

 Ilustrasi penyalahgunaan jembatan penyeberangan
Sumber: http://poskotanews.com/


Aku tak selalu bepergian dengan jalan kaki, untuk jarak tempuh yang dekat aku biasanya naik sepeda pancal. Sebenarnya sejalan dengan konsep go green ya, tapi sayang secara penerapan masih kurang didukung. Selain udaranya yang masih tinggi polusi, para pesepeda juga termasuk makhluk yang minor dan tersisih. Penyebabnya kurang lebih sama dengan pada kasus pejalan kaki tadi, yaitu karena pengendara mobil dan motor (atau kendaraan lain) yang kurang toleran. Jika aku melewati suatu jalan dan di tepinya ada bagian yang berbatu/tidak beraspal/rusak, maka pengendara lain akan memepetku ke sana. Sudah minggir pun masih diklakson-klakson juga, kurang mepet mungkin bagi mereka. Bahkan, kalau hujan dan aku sudah memilih tempat yang sangat pinggir dan becek/banjir lumayan tinggi eh masih di-‘ceprot’ juga oleh mereka. Sudah tahu banjir dan aku sudah sangat minggir eh dengan santainya para pengendara mobil dan motor itu ngebut dan mencipratkan genangan air kotor itu dengan keras ke arah tubuhku. Mungkin tidak terlalu apa-apa jika kondisinya pulang kerja, tetapi aku pernah mengalaminya di saat berangkat kerja. Baju jadi kotor dan basah dan otomatis aku jadi menggigil kedinginan menunggu waktu pulang. Apalagi bajunya seragam, tidak ada gantinya untuk baju kerja esok hari. Ini menggambarkan masyarakat yang belum cerdas (smart) ya, sangat tidak toleran. Sebagai solusi akan hal ini tentu saja yang pertama adalah mengatasi banjirnya lalu membuat lajur khusus untuk bersepeda. Lajur untuk bersepeda ini idealnya tidak bersinggungan dengan lajur motor dan mobil (tidak harus menyeberang memotong lajur mereka), mungkin nggak ya? Kalau memang digalakkan bersepeda untuk go green, kondisinya harus kondusif dong. Barangkali Bandung bisa menjadi contoh dalam hal ini. Ada lajur sepeda dan sewa sepeda di tempat-tempat yang sulit transportasinya. Sip banget kayaknya karena dengan bersepeda itu kendali ada di tangan sendiri, bisa menyesuaikan kecepatan, tidak perlu berdesak-desakan di kendaraan umum, tidak perlu menunggu lama datangnya kendaraan umum, dan lain-lain. Sepertinya, juga bakal lebih irit di ongkos.

 Sewa sepeda di Bandung
Sumber: http://ngodin.com/


Yah, seperti itulah gambaran dan sekaligus harapanku akan kota yang smart transportasinya. Harus bisa mengatasi masalah-masalah di atas. Sekiranya solusiku bisa diterapkan itu akan baik, dengan tetap membuka peluang akan adanya solusi yang lebih baik. Intinya, masalahnya teratasi, itu saja. Itulah smart city yang sebenar-benarnya. Bukan hanya smart bagi pengguna pesawat, mobil, motor, atau kalangan khusus lainnya tetapi untuk semua kalangan. Kota yang smart untuk semuanya.